KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

24 November 2015

11/24/2015 01:49:00 AM

Tutorial Mudah Menambal Timba Sumur

Pernah mengalami sumur timba yang rusak karena pecah akibat terus terusab berbenturan dengan cincin sumur atau benda lainnya? Hingga membuat bagian tertentu jadi pecah. Jika anda mengalaminya berikut ini adalah cara menjahit timba sumur yang pecah. Cara ini diajarkan secara turun temurun sejak lama dan tidak pernah sekalipun diajarkan di sekolah.

Saya memandang cara ini cukup kreatif dan mesti dilestarikan untuk menghemat, timba dapat terselamatkan sementara waktu membeli yang baru. Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan, diantaranya; Pisau, Lilin, Korek Api, Benang nilon, kawat/jarum. Lakukan langkah berikut ini:

1. Persiapkan benang nilon dan kawat untuk menjahit. Ambil lilin, kemudian bakar lilin itu dengan korek api. Siapkan pisau untuk kebutuhan pemotongan benang.


2. Selanjutnya bakar ujung kawat pada lilin yang telah disediakan. Sampai ujung kawat tampak ke merah-merahan.  Hati hati jangan sampai tangan Anda terbakar. Gunakan tang untuk memegang jika diperlukan.

3. Lalu arahkan ujung kawat panas tersebut untuk membuat lubang pada pinggir timba yang pecah. Jika ujung kawat telah dingin, bakar kembali ujungnya pada lilin. Lakukan sampai berulang kali, hingga semua pinggir timba pecah dilubangi. 


4. Ambil benang yang telah disiapkan. Masukkan ujung benang pada tempat yang sudah dilubangkan. Lakukan itu secara menyilang atau lurus. Tarik benang dengan rapat agar jahitan makin kuat.

Timba telah siap digunakan kembali. Tak perlu membeli yang baru untuk sementara waktu. Demikian tutorial cara menjahit timba yang pecah. Kasih tau pada tetangga jika tutorial ini bermanfaat.[]

11 November 2015

11/11/2015 05:36:00 AM

Tentang Seniman Aceh Ke Jakarta Beinnale 2015


"Setidaknya ada 5 orang seniman muda Aceh diundang ke Jakarta Beinnale 2015, diselenggarakan di Gudang Sarinah itu. Aceh patut berbangga dapat hadir  pada Jakarta Beinnale kali ini. Mereka diundang setelah lolos seleksi ketat tim kurator Jakarta Beinnale (JB), sebuah ajang pameran seni rupa dua tahunan yang diselenggarakan di bawah kendali Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ" 
 
Muhadzdzier M. Salda, Bergiat di Komunitas Kanot Bu dan Pengelola Ruang Diskusi TerasSore


Asep Topan dan Putra Hidayatullah, Dua Kurator Muda Jakarta Beinnale 2015 menjadi narasumber di Diskusi TerasSore, Banda Aceh, Rabu 24 Juni 2015 | foto koleksi pribadi

Seniman Aceh lolos  ke Jakarta Beinnale 2015 sebuah prestasi yang tidak mudah, atas kerja keras bersaing dengan karya-karya seniman lain dari 17 ribu pulau di Indonesia. Lima orang muda pegiat seni di dari tiga komunitas seni di Aceh itu bergerak tanpa biaya dari pemerintah di Aceh. Tentu saja, kendala itu tak jadi penghalang mereka untuk berkarya di tingkat nasional.  Mereka terpilih dan difasilitasi oleh kepanitian Jakarta Beinnale.

Lima orang seniman muda Aceh yang ikut  ke Jakarta Beinnale 2015 adalah Iswadi Basri, Idrus Bin Harun, Cut Sofia. Ketiganya seniman bidang seni rupa. Lalu ada Fuady Keulayu, ia   akan tampil pada pembukaan JB nanti pada Sabtu, 14 Nov 2015 di Sarinah, Jakarta. Sedangkan Putra Hidayatullah terpilih sebagai Kurator Muda Jakarta Beinnale yang berasal dari Banda Aceh.

Iswadi Basri, seniman seni rupa Aceh ini membawa 12 meter kain kanvas, dibalut dalam 3 biji pipa PVC seukuran ban sepeda motor biasa yang akan dipamerkan di JB. Cek Wadi -panggilan teman dekatnya- melukis dengan tema Air dan Lingkungan, ia menyelesaikan seni mural itu selama sebulan di studio Apotek Wareuna, Banda Aceh. Cek Wadi selama ini berkarya seni di Komunitas Apotek Wareuna. Tahun 2014 Iswadi Basri pernah menerima penghargaan seni dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, kategori seni lukis.

poster TerasSore 
Sedangkan Fuadi S Keulayu akan berhikayat modern pada malam pembukaan Jakarta Beinnale. Ia akan berhikayat dengan biola, seperti teater monolog di atas panggung dengan properti tentang cerita dalam hikayat masa konflik dan damai setelahnya. Fuadi ikut memboyong sebiji senjata mainan yang dilipat dan terbungkus rapi dan beberapa properti pendukung lain, biola adalah identitas alat yang dia mainkan di panggung. Kami sempat ketakukan akan 'senjata' itu, kau saja nantinya waktu pemeriksaan dengan xray di Bandara, bisa akan tertahan dirinya sebentar akan senjata mainan anak-anak itu.  Fuadi akan menghikayat soal cerita cerita lucu semasa Aceh dalam amuk serdadu dan riuhnya peluru di Aceh selama periode 30 tahun terakhir.  Fuadi dan Idrus bergiat di Komunitas Kanot Bu. Idrus Bin Harun, seniman rupa yang mengangkat isu tentang sejarah kekinian Aceh sebelum masa damai. Ia membuat sebuah lukisan berjudul  Bhonneka Tinggal Luka dan sejarah perjalanan akhir setidaknya selama 30 tahun lalu tentang isu kekinian Aceh. Idrus melukis mural dengan panjang 12 x 3 meter di lokasi Jakarta Beinnale.

Lalu Cut Aya Sofiana seorang seniwati yang berkarya di Komunitas Komik Panyoet Aceh, Cut Aya Sofia membuat mural di kawasan Paseban Jakarta Pusat. Diantara seniman itu, berangkat juga Zulham Yusuf. Seorang design digital yang bergiat di Kanot Bu. Zulham ke JB  sebagai tim pendukung  untuk membantu keberlangsungan kawan-kawan seniman dari Komunitas Kanotbu, selama di Jakarta, di samping ia tak ingin melewatkan ajang dua tahunan itu.

Jakarta Beinnale 2015 sendiri mengusung tema besar kali ini; Air, Sejarah dan Gender. Maju Kenak, Mundur Kenak; Bertindak Sekarang. Festival seni rupa dua tahunan itu berlangsung sejak 15 November 2015 – 17 Januari 2016 dengan serangkaian acara berkesenian dan festival karya seni rupa di dalammnya.

Diskusi TerasSore Edisi III; Aceh Un-Instalasi yang menghadirkan Octora dan Riksa Afiaty, Bilik  Rupa Pascadom, Banda Aceh, Rabu (26/08/2015) | foto koleksi pribadi 
Kami dari Komunitas Kanot Bu, sebelumnya menyelenggarakan tajuk diskusi bulanan yang kami beri nama TerasSore. Diskusi semi talkshow ala televisi itu dipercayakan saya sebagai pembawa acara. Kami pernah menghadirkan Putra Hidayatullah dan Asep Topan untuk berdiskusi tentang  Rupa Membongkar Kepura-puraan, diskusi TerasSore edisi kedua itu berlangsung pada bulan puasa, kami mengundang banyak lintas generasi muda pegiat seni di Banda Aceh dan Aceh Besar. Acara itu berlangsung disela sela menunggu waktu berbuka puasa, Rabu 24 Juni 2015.

Lalu pada Rabu 26 Agustus 2015, TerasSore kembali kami gelar dengan mengangkat tema Aceh Un-Instalasi. Dua narasumber juga dari Jakarta Beinnale yang kebetulan sedang ke Banda Aceh, kami membajak mereka untuk berbicara dengan kawan kawan pegiat seni lintas bidang. Mereka adalah Octora, seorang Seniman Perupa Instalasi dari Bandung dan Riksa Afianty, Kurator Muda Jakarta Beinnale 2015.
Poster TerasSore Edisi  III 
Ini sesuatu kebanggaan kami Komunitas Kanot Bu dan pegiat seni di Aceh dalam mendengar banyak hal baru tentang seni rupa dari dua seniman perempuan ini. Atas kesediaan mereka berdua untuk bisa berbagi banyak hal tentang seni rupa. Hal itu tentu saja tak bisa lepas dari peran Putra Hidayatullah, Kurator Muda yang berasal dari Banda Aceh. Terimakasih banyak Putra. Ini menjadi spirit bagi pegiat pegiat seni yang lain di Aceh untuk terus berkarya di tingkat nasional dan international []

Markas Komunitas Kanotbu, 10 Nov 2015 pada sebuah malam yang suntuk dan hari hari sunyi selepasnya. 

05 November 2015

11/05/2015 02:08:00 AM

Sanger Day, Ijakrong Dan Malam Pertama

Sabtu Malam dipenghujung pekan akhir bulan Oktober, saya diundang oleh Aulia Fitri, pengelola Komunitas @iloveaceh untuk hadir pada malam acara peringatan Sanger Day. Saya berkesempatan hadir berbaur dengan puluhan pengunjung yang umumnya dari kalangan pemuda. Acara itu berlangsung di Parkiran Pasar Aceh, Sabtu Malam, (31/10/2015). Saya tertarik datang karena pengunjung akan memakai ijakrong semua, saya ingin merasakan suasana yang berbeda itu. Ternyata, malam itu hanya sekitar 10 orang saja yang benar-benar memakai ijakrong.

Perigatan Sanger Day malam ini yang ke tiga kalinya dilaksanakan sejak pertama kali pada tahun 2013. Sanger Day digagas pertama kali Fahmi Yunus dengan hestek #SangerDay di twitter pada tanggal 12 Oktober 2013. Hestek itu diikuti oleh banyak orang setelah diretwet oleh akun @iloveaceh dan mendapat respon dari nitizen.

Fahmi Yunus pada pengantarnya di peringatan Malam Puncak Sanger Day menyebutkan, Sanger dikenal akrab di Warung Kopi Atlanta, Ulee Kareng, era tahun 1997. Sanger berarti Sama-Sama Ngerti. Kala itu pengunjung Atlanta umumnya dari kalangan mahasiswa. Tahun itu masa krisis moneter. Karena mahasiswa ingin minum kopi susu tapi harga yang sulit dijangkau apalagi akhir bulan. Maka bagi mahasiswa yang ingin minum kopi dengan ada rasa susu sedikit, terjadilah negosiasi antara mahasiwa dan warkop dengan membuat kopi sedikit susu. Munculnya istilah Sanger, sama-sama ngerti antara penikmat kopi dengan warkop. Sanger berbeda dengan kopi susu.

Di kampung saya, Kutablang Bireuen, tidak ada istilah Sanger. Kami mengenal kupi stel, kupi yang distel dengan susu sedikit. Rasa masih terasa pahitnya. Tapi ini ngak disebut kopi susu. Tetap disebut; kopi stel. Kupi Stel dibuat dengan campuran susu sedikit yang dituangkan, harga tetap dihitung harga kopi biasa. Gulanya dikurangi. Tetapi rasanya berbeda dengan Sanger.

Sanger Day malam itu diperingati dengan hidangan sanger dan timphan kepada pengunjung sambil mendengarkan musik dari dua band lokal. Mereka membawa lagu-lagu milik band dari Jakarta. Tak ada sesuatu yang beda. Hanya satu lagu kreatif mereka yang nyanyikan lagu mars iloveaceh. Selebihnya saya seperti mendengar musik dari kaset biasa.

Saya tidak melihat ada sesuatu yang beda dari penampilang mereka. Jika panitia mengajak pengunjung untuk memakai kain sarung, hal itu tidak berlaku pada personel pemusik malam itu. Mereka tetap memakai celana jeans. Mestinya jika memang ingin membikin acara itu berbeda, alangkah indahnya para pemusik itu juga memakai kain sarung.

Sarung sudah jadi bagian identitas masyarakat Aceh dan Indonesia. Saya teringat cerita lelucon tentang dua pemuda yang memakai kain sarung saat berjalan menuju ke masjid. Satu pemuda adalah kader Nahdlatul Ulama dan satu lagi pemuda kader Muhammadiyah. Duanya memakai baju koko dan memakai peci hitam. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui identitas keduanya? Menurut ahlus periwayat kisah ini, jika ingin mengetahui perbedaan keduanya, maka kita datangi mereka. Lalu sibakkan kain sarung kedua ke atas; jika pemuda itu tidak memakai celana dalam, itu pemuda NU, kalau memakai celana dalam, itu adalah pemuda Muhammadiyah. Pemuda NU kerap berasal dari kalangan pesantren. Bagi yang pernah mondok, akan paham kenapa santri jarang memakai celana dalam.

Negeri Arab, saya pernah mendengar cerita dari teman yang kuliah sana. Lelaki memakai kain sarung identik dengan lelaki pengantin baru yang sedang atau akan melaksanakan malam pertama. Ini soal budaya tentu saja yang tak perlu diperdebatkan. Bagi budaya kita, kain sarung tak selamanya juga digunakan sebagai alat untuk beribadah. Ia bisa berfungsi ganda sebagai alat untuk tidur. Jika pagi-pagi, masa zaman dulu kala saat kakus masih seluas jagat raya. Kain sarung juga berfungsi untuk menutup tubuh saat buang hajat di sungai.

Bagi kaum muda yang masih lajang, memakai kain sarung saat jalan bersama teman wanitanya adalah sebuah tips agar terhindar dari razia petugas syariah, pasangan itu akan dikira telah menikah. Pacaran ala syariah. Eh, tetapi saya tak bertanggung jawab jika kalian lakukan tips buruk ini.

Peringatan sanger day malam itu adalah bagian dari mengenalkan identitas Aceh kepada masyarakat urban kota Banda Aceh. Tradisi minum sanger + pajoh timphan + ijakrong adalah bagian dari identitas Aceh yang mesti terus digalakkan sebagai bagian dari warisan budaya. Mungkin saja masa akan datang, akan ada peringatan Hari Ijakrong Nasional sebagaimana Hari Batik Nasional.

[tulisan ini telah dipublis juga di acehtrend.co, 2 November 2015]