KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

25 February 2014

2/25/2014 05:27:00 AM

Jomblo Aceh, Bersatulah!

ESSAY | Muhadzdzier M. Salda, Juru Bicara Kaukus Jomblo Pembela Syariat, Ketua Dewan Syuro Persatuan Lajang Minoritas (PELAMIN)



Sejak JKA (Jaminan Kesehatan Aceh) dicetuskan pada masa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan disetujui oleh DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) pada Juni 2010, inilah program andalan paling bergengsi dari Pemerintah Aceh kala itu. JKA mendapat posisi paling utama diantara program-program masa Irwandi-Nazar yang menjabat masa periode 2007-2012.




Sekitar 5 juta jiwa lebih penduduk Aceh dapat merasakan efek yang cukup luar biasa dari JKA ini. Dana yang dianggarkan untuk program ini juga tidak tanggung tanggung yang mencapai ratusan miliaran rupiah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) setiap tahunnnya. Lalu, bisakah jika Pemerintah Aceh sekarang dibawah Gubernur dr. Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf mencetuskan program Jaminan Mahar Aceh (JMA) bagi pemuda lajang Aceh yang ingin menikah?

Saya memang tidak menemukan jumlah angka yang pasti berapa ratusan ribu para pemuda lajang Aceh yang tidak bisa menikah karena persoalan biaya untuk mahar yang tinggi. Mahar (jeulame) dalam adat turun temurun masyarakat Aceh dikenal lumayan berat bagi jomblo-jomblo alias lajang di Aceh yang ingin menikah. Sebagaimana yang telah kita tahu bersama bahwa untuk dapat menikah di Aceh, seorang lelaki lajang harus membawa mahar berupa emas walau sebenarnya dalam islam tidak disebutkan jenis mahar adalah emas. Yang ditentukan adalah sebuah barang berharga dan barangkali alasan itulah maka emas disepakati sebagai mahar yang “wajib” untuk dipenuhi sebagai syarat untuk bisa menikah. Rata rata bagi pemuda lajang yang ingin menikah di Aceh harus terlebih dahulu menyiapkan emas dengan jumlah yang fantastis untuk “membeli” seorang gadis.

Rata-rata yang terjadi di Aceh, untuk melamar seorang gadis, seorang lelaki harus menyiapkan mahar mencapai angka 10 sampai 20 mayam plus isi kamar dan asoe talam segala perangkat pakaian untuk si calon mempelai wanita. Bahkan ini juga sangat tergantung kepada profesi si perempuan itu sendiri, misalnya dia sudah jadi pengawai pemerintah, dokter, guru dan segala profesi yang terpandang lainya. Besarnya sangat tergantung kepada profesi dimaksud untuk menunjang gaya hidup. Inilah adat dan budaya salah kaprah berada diatas aturan yang telah ditetapkan agama.

Hari ini, harga rata rata emas yang terus melonjak naik. Harga emas di pasar saat ini mencapai 1,8 juta per mayam lebih, maka paling tidak seorang lelaki harus menyediakan uang lebih kurang 40 juta lebih sebagai kebutuhan untuk segala kegiatan pernikahan dan pesta tetek-bengek ini itu. Wow! Bayangkan bila dipakai untuk membeli kopi? Bisa untuk minum satu kotamadya Banda Aceh.

Nah, satu sisi penentuan mahar yang sudah menjadi semacam adat dalam proses meminang gadis di Aceh. Pemuda lajang dari luar Aceh yang ingin meminang gadis Aceh harus mikir duakali. Seorang teman dari Pulau Jawa pernah celoteh kepada saya; “ditempat kami, uang satu juta bisa menikah!”

Tidak ada yang salah memang dalam hal menjaga adat dan budaya ini. Bukankah adat budaya juga tercipta dalam masyarakat secara turun temurun dan itu bisa saja diubah secara perlahan-lahan. Jeulame melamar gadis Aceh memang cukup memberatkan bagi lajang yang tidak ada pekerjaan, sedangkan keinginan untuk menikah cukup tinggi di Aceh. Saya pernah menemukan seorang teman yang telah melakukan hubungan intim dengan pacarnya karena memang kebelet pada persoalan ‘arus bawah’ yang belum sanggup dia ‘halalkan’ di depan penghulu.

Adat mahar tinggi, dari satu segi menandakan bahwa gadis gadis di Aceh itu sebagai sebuah hal yang benar benar dihargai. Tapi segi yang lain juga mesti dilihat jika ini sangat memberatkan bagi pihak laki laki, apalagi dengan harga emas yang semakin hari semakin naik. Sebuah guyonan lawak yang beredar dari warung kopi sesama anak muda lajang menyebutkan bahwa jodoh pemuda lajang di Aceh itu ditangan WH. Jika tertangkap WH biasanya pihak lelaki tidak perlu membayar mahal setinggi yang telah disebutkan di atas tadi. Cukup sebagai syarat rukun nikah saja. Paling-paling dua mayam. Menikahnya di kantor WH karena tertangkap mesum.

Lalu adakah yang salah dalam hal ini, dimana adat yang berlangsung begitu lama di Aceh? Majelas Adat Aceh (MAA) sebagai lembaga yang menjaga dan mengatur adat di Aceh perlu duduk berembuk membahas persoalan ini. Mesti ada Musyawarah Tokoh Adat seluruh daerah di Aceh untuk menemukan titik terang soal mahar di Aceh. Atau sudi kiranya DPRA perlu bikin semacam Qanun Mahar yang mengatur tentang adat mahar ini. Adat kita jaga, lelaki lajang juga perlu dipandang juga. DPRA dan Pemerintah Aceh semestinya perlu membuat kebijakan khusus tentang mahar di Aceh, boleh juga semisal mengeluarkan Qanun tentang mahar di Aceh, jangan hanya ribut soal Qanun pilkada saja yang tentu mementingkan kepentingan perut para penguasa, bagi kami yang masih lajang di Aceh, persoalan di bawah perut juga mesti dipikirkan oleh pemerintah.




Jika saja program Jaminan Kesehatan Aceh sukses bisa dilakukan di Aceh. Bagaimana jika seandainya juga pemerintah Aceh melakukan program Jaminan Mahar Aceh (JMA) di pemerintahan Zaini-Muzakkir. Saya mengusulkan tidak serta merta pihak pemerintah menanggung semua mahar kepada pemuda Aceh yang ingin menikah, karena memang jenis dan takaran mahar di Aceh berbeda beda juga dalam lamarannya. Sangat tergantung kepada profesi si gadis yang dilamar di tiap daerah juga berbeda. Biasanya jika si gadis adalah anak orang kaya dan terpandang, maka mahar akan begitu tinggi patokannya, satu lagi jika si gadis seorang wanita karir dengan profesi yang menyakinkan apalagi sudah menjadi PNS. Maka pihak lelaki siap-siap saja menghabiskan uang puluhan juta hanya untuk sebuah niat yang mulia, padahal mereka sudah saling cinta-mencintai. Kan menikah untuk menyempurnakan setengah agama. Untuk menjaga pandang agar tidak jadi fitnah, daripada mereka pacaran dan berbuat macam-macam hingga terjerumus ke dosa.

Peran Orang Tua
Para orang tua juga mesti tau bahwa menikah itu adalah ibadah, dan jangan karena menentukan mahar yang tinggi, bisa-bisa anak perempuannya jadi  tua tidak kawin kawin. Ini bahaya dan mesti dipikirkan oleh semua orang tua yang sudah punya anak gadisnya yang siap menikah.

Jaminan Mahar Aceh tidaklah sepenuhnya menjadi tanggungan pemerintah Aceh, program ini bisa disama ratakan dalam pengeluaran bantuan kepada lelaki lajang yang ingin menikah. Kalau misalnya pada JKA ditanggung semua biaya sebesar keperluan untuk pasien, beda dengan JMA ini. Semisal semua yang ingin menikah ditanggung sama rata dengan bantuan seharga 5 mayam emas, selebihnya itu menjadi tanggung jawab si lelaki yang ingin menikah itu sendiri. Ini cukup membantu bagi kaum pemuda lajang di Aceh yang ingin menikah. Tapi ini khusus buat pemuda lajang yang belum pernah menikah sebelumnya. Pemerintah Aceh bisa mengucurkan bantuan ini ketika sebulan setelah si lelaki ini menikah; tentu saja membawa buku nikah sebagai barang bukti untuk proses pencairan dana, saya kira dalam hal ini Biro Kesejahteraan Rakyat dibebankan tanggung jawab, atau Dinas Pemuda dan Olahraga. Kenapa tidak?

Jangan dianggap remeh terhadap persoalan ini, bahwa diantara begitu banyak kasus kasus mesum yang tertangkap di Aceh karena mereka tidak sanggup menikah. Melamar dengan “bismillah” tak dianggap, melamar dengan ijazah sarjana juga tak diterima karena memang dimana-mana sarjana berserakan di warkop-warkop di Aceh. Ingat, mahar yang tinggi tidak menjamin pasangan yang menikah itu akan bahagia dan sejahtera.

Kiranya harapan saya mewakili puluhan ribu kaum lajang di Aceh yang tidak/belum mampu menikah, karena persoalan harga emas semakin naik tinggi dan mempertahankan adat jeulamee di Aceh juga dirasakan perlu adanya. Bayangkan jika jomblo-jomblo di Aceh ini bersama dan buat aksi ke DPRA menuntut supaya kebijakan terhadap persoala hajat ‘arus bawah’ jomblo juga mestinya di perhatikan. Bila tidak, sungguh para lajang Aceh dengan jumlah populasi yang semakin banyak, akan melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan nantinya. Orang tua yang ada anak gadisnya juga mesti tidak terlalu berlebihan dalam menentukan mahar anak gadisnya, salah-salah tidak ada yang melamar dan jomblo seumur hidupnya.

Tentu, ini juga persoalan anak bangsa yang mesti kita hindari sekarang ini. Seruan saya kepada seluruh kaum lajang Aceh, mari bersatulah untuk menuntut hal ini kepada pemerintah. Jangan tinggal diam kawan, marilah kita buat luluh hati para calon mertuamu agar tidak mematok mahar buat anak gadisnya tinggi-tinggi. Atau putusin saja gadis yang kamu cintai dan kita cari gadis di luar Aceh!? [tulisan ini sudah pernah dimuat di situs atjehpost.com pada Maret 2013]

20 February 2014

2/20/2014 04:06:00 AM

KDI dan MTQ

Prestasi Aceh pada Musabaqah Tilawatil Qur‘an Nasional (MTQN) ke-22 di Serang, Banten sangat memalukan (Serambi Indonesia, 26/06/2008). Memalukan karena Aceh sebagai daerah syariat Islam tapi meraih nomor corot di bawah Papua Barat yang minoritas muslimnya. Kabarnya seperti kata berita, tidak sebanding dengan anggaran pembinaan (Rp 5 miliar) yang dikeluarkan.

Kritik dan kecewa itu sah-sah saja dilontarkan, seperti dari kalangan legislatif yang memang selama ini sangat getol dalam bidang kritik mengkritik itu. Tapi tunggu dulu! Pastikan bukan untuk mengeritik atas kinerja mereka.

Ke soal MTQ, saya akan bertanya, apa kerja orang-orang yang selama ini membina qari-qariah itu, pakai biaya besar lagi. Kok justru prestasi Aceh menjadi melorot. Sedang pertanyan buat kita orang Aceh; kenapa semakin getol syariat Islam disosialisasikan justru prestasi dan kelakuan beragama kita semakin tak Islami. Kita menjadi khawatir, akan menjadi preseden buruk dan patokan bagi provinsi lain untuk menilai Aceh ini.

Mereka tak perlu datang ke Aceh, cukup melihat penampilan dan watak orang Aceh yang keluar. Bagaimana moral yang selam ini kita pertontonan, sehingga orang luar Aceh akan mengatakan; “Oh, orang Aceh rupanya belum pandai dan fasih betul dalam memahami dan mengamalkan Alquran. Katanya daerah yang sudah menerapkan syariat Islam, sudah tujuh tahun lebih pula”

Soal MTQ menginspirasi saya untuk membanding-bandingnya dengan suatu kontes lain yang berskala nasional. Namanya, Kontes Dangdut Indonesia (KDI). Dalam KDI ternyata Aceh bisa tampil bagus dan menjadi fokus perhatian nusantara. Ada lagi sejumlah kontes yang sama dengan KDI, dan Aceh juga mengirimkan dutanya. Dan luar biasa Aceh menyedot perhatian para pecantuan kontes mania. Kontes KDI menyebar seperti virus ke suluruh pelosok Aceh, bahkan orang-orang udik yang sudah bau tanah tak ketinggalan urung rembuk membicarakan kontes dangdut itu. “Cut Niken” asal Lhokseumawe yang menjadi salah seorang peserta, menjadi idola, sehingga setiap minggu tampil, ia menjadi juara.

Masyarakat memberi support luar biasa, bersedia untuk membeli pulsa HP untuk mengirim SMS agar sang idola bisa meraih dukungan besar. Bahkan pejabat Pemerintah Aceh seperti isteri Wakil Gubernur kita juga sejumlah pejabat daerah begitu antusias. Bahkan harus bersusah-susah bikin acara nonton khusus. Di sejumlah tempat pun diadakan Nobar (nonton bareng) layar tancap demi Niken.

Luar biasa hebatnya dukungan kita atas KDI. Jangan tanya berapa anggaran yang dialokasikan untuk ajang satu ini. Lihat saja di daerah Kota Lhokseumawe bertaburan Baliho dan Spanduk, mohon doa dan dukungan agar setiap orang mengirimkan sms untuk Niken agar tidak tersisih.

Itulah bedanya KDI dengan MTQ. Seandainya setiap peserta MTQ juga dilakukan sistem penilaian lewat SMS (short massage service), saya memastikan dukungan masyarakat Aceh tak sehebat untuk kontes KDI. Pasti kita akan berpikir karena harus mengeluarkan pulsa yang tidak sedikit dengan banyaknya duta Aceh yang tampil di MTQ itu.

Dan itulah kita orang Aceh, daerah yang menerapkan syariat Islam, tapi kemudian memahami agama sekedar “lepas makan”. Kita begitu antusias kalau itu leha-leha, berani hambur uang hanya untuk suatu kontes KDI. Maka wajar saja kalau duta Aceh pada MTQ meraih rangking memalukan.

Sebagai Aceh, mari menakar ulang sejarah atas keberpihakan kita selama ini. Aroma KDI dielu-elukan, tapi MTQ disepikan. Lalu apakah itu orang Aceh, orang Islam. Karenanya, kekecewaan ini jangan dialamatkan kepada paqa qari-qariah MTQ, tapi panitia dan lembaga seperti LPTQ dan petinggi negeri yang tidak becus mengurusnya. Jangan-jangan mereka tak berbuat apa-apa. Maka sepantasnya kekecewaan itu kita timpakan buat mereka. Hanya bisa menghambur uang, namun meraih hasil memalukan. Malu aku! Malu lah! [Sumber: Harian Serambi Indonesia, 6 Juli 2008 ]
2/20/2014 03:56:00 AM

Atas Jilbab, Bawah Ketat!

Add caption
Tulisan ini bukanlah untuk saling menuding siapa yang salah dan mana benar. Bisa juga salah saya karena menghambat ‘hak-hak asasi perempuan’, atau persamaan gender yang diperjuangkan sampai sekarang oleh orang-orang yang masih merasa terzalimi oleh kaum Adam.Mereka tidak mau lagi di tuntut, kalau perempuan itu harus selalu di bawah. Sekali-kali kan bisa ganti posisi dong. Bisa jadi seperti itu kata mereka.

Seorang teman perempuan, di kampus dimana tempat saya kuliah. Pernah suatu waktu saya menegur sambil bergurau tentang cara dia berpakaian yang tidak islami. Dia pun menjawab dengan serius perkataan saya. “aku berpakaian gini, kan tidak menggangu orang”. Berkata seperti itu, saya tersenyum sambil melihat tingkahnya dengan ujung mata.

Adalah ketika kita melihat fenomena cara perempuan dalam berpakaian yang sudah modern dan maju. Para pemangku adat akan berpendapat, bangsa kita sedang dalam krisis moral. Krisis moral kita yang memang sedang di uji, kata para ahli agama. Lalu ada lagi yang mengatakan bahwa kondisi bangsa kita sedang mencari gaya hidup ala orang-orang Barat. Biar cepat maju dengan mengikuti gaya, trend ala Eropa. Biar tidak dikatakan ketinggalan jaman. Tidak kuno. Atau kampungan habis. Para anak-anak gadis kita pun dengan bangga mengatakan; biar gaul.

Sah-sah saja jika tingkah dan prilaku ABG (Aneuk Bineh Glee?) yang hidup di kota besar semacam Jakarta, Bandung atawa Medan. Memakai celana di atas lutut dan baju kaos oblong yang menonjolkan susu “SGM 2” nya. Ada juga yang meniru gaya grup band Nidji, dengan celana ketat yang ujung tumitnya mengecil. Celana pensil istilahnya. Lalu sibuklah para lelaki perjaka yang tak tau melampiaskan kemana.

Maka , apa yang terjadi jika gaya anak-anak ABG seperti itu hidup di nanggroe yang berstatus Syariat Islam seperti di Aceh. Atas jelbab, bawah ketat. Apa guna jika jelbab mereka pakai jika bentuk di bawah pusat seperti huruf V menonjol sangat.

Siapa yang dosa?
Sebagian kaum laki-laki akan berkata mubazir jika tidak melihat dan menghayati. Sebagai lelaki normal tentunya. Sebagian lagi ada juga yang mencaci maki sekedar membenci orang yang bermaksiat. Bagaimana tidak, jika kita lihat sepintas kadang ada rasa jijik bercampur benci juga rasanya. Bagian kepala mereka tutup dengan jelbab berbunga dan mahal (ada yang lilit ke leher lagi) . Sedang “barang” yang berharga mereka biarkan dilihat oleh siapa saja yang kebetulan atau sengaja melihat. Bulat dan ketat. Persis seperti buah labu air. Mirip sekali. Cuma bedanya buah labu enak dimakan, sedang ini berisi tinja. Alamak!

Saya pernah mendengar penuturan seorang ibu yang takut jika anaknya tidak ‘laku” kalau tidak memakai baju dan celana ketat. Ini terjadi di Aceh. Takut di katakan kuno dan kampungan sekali jika memakai baju ala muslimah sesuai ajaran islam. Dengan jelbab besar menutupi seluruh bagian dada. Sedang baju yang di pakai, tak sedikitpun menampakkan setiap lekuk dan bentuk tubuh. Ini yang tidak banyak dilakukan oleh ABG-ABG Aceh.

Siapa yang harus kita salahkan jika ini terjadi pada anak-anak gadis kita yang baru dan sedang akan menginjak usia remaja. Penjual baju di pasarkah? Atau orang tua yang sengaja membiarkan anak-anak perempuannya 'menjual barang'; "ini lo punya anak saya yang lebih bagus.

Jika kita mengamati wanita yang masuk dalam kategori, atas jelbab bawah ketat. Maka boleh di kata cukup begitu banyak cewek-cewek di Aceh yang masuk dalam nominasi itu. Sedang trendy atawa ikut mode. Tidak usah jauh-jauh. Di kampus-kampus di Banda Aceh misalnya, cukup banyak wanita-wanita yang masuk dalam kategori ini. Seharusnya rektor bisa membuat semacam "SK"; intinya tidak ada pelayanan bagi mahasiswi yang berpakaian seronoh. Aceh kan daerah modal dan model, kata Mantan Ketua DPR Aceh, Sayed Fuad Zakaria.

Sedang mereka mengaku orang-orang intelektual dan pembaharu bangsa. Ya pembaharu bangsa yang akan menjadi bangsa-bangsa yang bangsat tentunya. Orang luar tentu bisa menilai etika kita dalam sosial kehidupan bermasyarakat. Berpakaian adalah etika sopan dan santun dalam pergaulan. Ini penting untuk kita cermati bersama. Apakah memakai baju muslimah sudah jaminan akhlaknya baik? belum tentu! Perkara soal berpakaian menutup aurat tidak bisa dijadikan alasan kalau yang bersangkutan orang baik. Jadi baik adalah bentuk sikap dewasa, sedangkan menutup aurat adalah kewajiban sebagai ummat muslim.

Ketika seorang perempuan memakai baju membungkus badan, dengan likuk dan goyang pinggul yang aduhai saat berjalan. Sedang ketika duduk terlihat merk celana dalam yang di pakai, menampakkan princunnya yang membuat para kaum lelaki menunjuk pada 'jam 12 tepat' dan bila ada kaum lelaki yang melihat dan menghayatinya. Sudah pasti niat jahat akan menghantui pikiran si lelaki ini. Maka wajar saja, namanya juga lelaki normal. Punya nafsu dan keinginan untuk menyelesaikan hajatannya.tapi hanya nafsu besar, sedang tenaga pas-pasan. Ingat, kemaksiatan terjadi bukan karena ada niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan.

Kalau ada terjadi kasus perempuan yang memakai baju ketat, yang membuat lelaki bernafsu. Lalu, siapa yang salah?. Jawaban saya, kedua-duanya. Tentu pemicu utama dari konflik menghayal ini dari perempuan. (Wilayatul Hibah WH) hanya mengawasi jalannya syariat islam di Aceh, sekaligus sebagai lembaga yang menindak untuk orang orang yang melanggar syariat islam di Aceh.

WH Juga Manusia.
Tidak mungkin mereka merazia perempuan memakai celana ketat di setiap tempat. Kesadaran dari kita tentunya. Karena ini negeri bersyariat. Kalau tidak sanggup patuhi, silakan saja bungkus baju minggat dari sini. Nanggroe syariat islam, yang dari jaman dahulu juga sudah bersyariat.

Jikalau ada perempuan yang memakai baju sopan dan sesuai seperti yang di anjurkan dalam Al-Qur’an. Saya yakin sekali, tingkat pemerkosaan dan pelecehan terhadap perempuan akan kurang, saya tidak berani mengatakan tidak ada sama sekali. Ini penting untuk kita cermati dan menjadi—kalau Anda setuju dengan saya—untuk menjaga agar anak-anak inong kita tidak membuka aurat di depan publik. Mahkota kok di obral. Seperti baju monja saja. Ada-ada saja tingkah aneuk dara Aceh kita. [banda aceh, 2008 dari situs: Sindikat Dokarim]

15 February 2014