KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

30 December 2013

12/30/2013 06:24:00 AM

Ibu, Maaf Saya Belum Wisuda!



Tabloid Detak Unsyiah - September 2009
Menatap tangis dalam gelap malam.
Sahut sahutan suara jangkrik ketakutan
Sepi itu menyeruak dalam desah angin malam
Sesaat aku terbayang
Seolah olah seakan akan
Wajah ibu dalam gelap malam
Sepi kurindu saat hati ini di balut kegelisahan.
Perempuan setengah abad itu memberikan jiwa dalam lukaku
Sayup sayup ku mendengar suara ibu
Jika hari terakhir dalam hidup kehidupannya
Ia menatap ke arahku yang berkeruh
Menebar senyum kebahagiaan di wajahnya

29 December 2013

12/29/2013 07:45:00 AM

Sebutir Peluru di Atas Meja

sumber: situs AJNN.NET Minggu, 29 Desember 2013
Suatu Siang, Anak Anak Lampu'uk | koleksi pribadi
SORE yang cerah pada hari Sabtu di akhir bulan Desember tahun lalu. Karim duduk sambil bersiul di teras rumah kontrakannya. Ia membakar  sebatang rokok. Eh, bukan sebatang, hanya tinggal saja setengah batang. Boleh disebut puntung rokok, yang diambilnya dari asbak rokok. Ini zaman sulit, pikirnya. Hari-hari akhir bulan sebagai mahasiswa yang jauh dari orang tuanya di kampung, di pedalaman Kabupaten Campa Utara. Jika berharap kiriman orang tua,  yang belum jatuh tempo harinya adalah bukan pikiran yang tepat. Kalaupun ia dapat kiriman, setengah dari itu harus bayar hutang di warung kopi Apadolah. Setengahnya lagi, berhemat-hematlah dia bertahan hidup selama sebulan dengan uang itu. Tapi tak mengapa, pertengahan bulan depan Karim bisa dapat jatah makan di kampus. Sebab ia ada buat kegiatan di Unit Kegiatan Mahasiswa. Ada banyak anggaran disana, sebab anggaran itu di donor dari sebuah LSM luar negeri yang membangun Aceh setelah luluh lantak amuk air bah lima tahun lalu.

28 December 2013

12/28/2013 02:04:00 AM

Untuk Apa Bioskop di Aceh!?

UPAYA Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menghadirkan kembali bioskop di Banda Aceh merupakan sebuah hal yang patut diapresiasi sebagai sebuah kemajuan bagi peradaban kalangan manusia pecinta film di Aceh. Sebelum tsunami, ada empat bioskop yang hadir di Banda Aceh, tetapi karena diterjang amuk air laut, bioskop bioskop tersebut kemudian beralih fungsi menjadi tempat lain yang jauh dari kepentingan bioskop.


Workshop Video Remaja di Episentrum Ulee Kareng | Ahmad Ariska | acehkita.com

Wacana Walikota Banda Aceh yang belum mendapatkan izin dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sebagai lembaga yang selama ini mengatur soal ummat yang menyeleweng dan jauh dari hal hal yang bersyariat. MPU Aceh berpendapat, bioskop merupakan ruang kerja baru terjadinya tindakan maksiat yang dilakukan oleh pengunjung bioskop yang kebanyakan dari kalangan anak muda-mudi yang belum menikah. Akan terjadi ruang tempat anak muda melakukan perbuatan yang melanggar syariat islam sebagaimana aturan yang berlaku di Aceh sejak tahun 2001.

M. Fauzan Febriansyah, seorang tokoh muda Aceh bahkan membuat petisi di situs www.change.com untuk menggalang dukungan dari semua kalangan akan kehadiran bioskop di Banda Aceh. Dalam petisi tersebut, Fauzan membuat judul: Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh: Dukung Pendirian Bioskop di Banda Aceh. Petisi yang digalang oleh Fauzan mendapat dukungan yang cukup luar biasa dari kalangan anak muda di Banda Aceh.

Lalu ada Rizki Alfi Syahril, pemuda Aceh yang sedang studi pascasarjana di Jogjakarta menulis artikel; Aceh Butuh Bioskop di www.cinemapoetica.com, sebuah situs yang berkonsentrasi pada kajian dan pengarsipan film. Rizki menyebutkan kondisi Aceh yang tidak memiliki bioskop menuai reaksi dari generasi muda Aceh dengan membuat grup di facebook “Aceh Butuh Bioskop”.

Episentrum Ulee Kareng, sebuah bioskop mini di Komunitas Tikar Pandan, telah berkali kali membuat festival film bagus dan bermutu baik film karya anak negeri dan luar negeri. Episentrum Ulee Kareng ini pernah membuat Festival Film Arab Aceh pada desember 2010 dan Desember 2011. Festival itu merupakan kerja-kerja kebudayaan untuk menjawab keresahan akan para penikmat film. Para filmmaker yang selama ini bergerak dalam produksi film film dokumenter di Aceh dapat termotivasi dengan adanya bioskop sebagai tempat mereka mengapresiasi akan karyanya.

Keinginan kawan-kawan muda pecinta film dapat mengakses rilis film dengan cepat tentunya menjadi alasan penting bagi pengambil kebijakan di Banda Aceh untuk menampung keinginan para penikmat film untuk hadirnya sebuah bioskop di Banda Aceh. Yakinlah kita bahwa, akan ada penonton yang berasal dan dekat akses dengan kotamadya Banda Aceh untuk menjadi pelanggan bioskop tersebut.

Selama ini jika ada film yang baru dirilis, para penikmat dan pecinta film di Aceh harus menunggu waktu berbulan-bulan untuk dapat menonton film tersebut dari CD bajakan yang beredar di pasaran, atau mereka harus mendapatkan film itu secara “haram” dari internet.

Saya tiba tiba teringat surat pembaca di koran cetak terbitan Aceh pada masa heboh hebohnya film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Ada seorang anak muda dari Banda Aceh harus membayar biaya mahal hanya karena ingin menonton film tersebut. Medan, kota di propinsi lain dari Aceh yang dekat dengan Banda Aceh dan tersedianya bioskop yang memutar film Ayat Ayat Cinta tersebut. Pemuda tersebut memilih perjalanan ke kota Medan. Dia harus mengelurkan biaya yang cukup besar tentunya hanya untuk keinginan menonton sebuah film berdurasi sekitar dua jam.


Membeli tiket pesawat pulang-pergi hanya untuk membayar keinginannya menonton film yang cukup fenomenal tersebut pada tahun 2009. Dia mesti sediakan uang mencapai 1 juta rupiah hanya untuk menikmati sebuah film, sebab di Banda Aceh bioskop dilarang hadir karena pemerintah kita masih berpegang: bioskop sebagai tempat orang orang melakukan maksiat. Benarkah demikian?

Salah Satu Bioskop jaman Dulu di Banda Aceh | foto internet

Solusinya Bioskop di Aceh
Jika alasan MPU tidak memberi izin bioskop hanya karena masalah terbukanya ruang ruang kerja maksiat di Banda Aceh, berarti yang salah adalah para pelaku maksiatnya, bukan malah melarang izin pendirian bioskop tersebut. Ada aturan main yang bisa diatur dengan kebijakan Walikota bagi pengelola bioskop dan pengunjung. Aturan teknis penonton yang mesti diatur dengan baik, tentunya.

Pemerintah bisa saja meminta pengelola bioskop untuk membuat aturan teknis bagi pengunjung. Kita misalkan aturan jadwal menonton, antara laki-laki dan perempuan yang masih melalui beda pintu misalnya. Atau aturan jadwal pada sore hari untuk pihak perempuan dan pada malam hari bioskop khusus untuk penonton laki laki. kalau aturan mainnya begini, dimana letak ruang maksiatnya? Kecuali ada kaum gay atau lesbi yang jadi penonton. Itu diluar jangkauan kita.

Pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh atau MPU dan Dinas Syariat Islam bisa melakukan seleksi ketat terhadap film-film yang memang layak putar di bioskop nantinya. Ada banyak film film inspiratif dan bermutu untuk bisa dijadikan sebagai tempat hiburan baru baru warga kota Banda Aceh dan Aceh umumnya. Tentunya kita pahami, film film yang sesuai dengan kondisi adat dan aturan yang berlaku di Aceh yang layak diputar. Tidak juga menjadikan dengan hadirnya film film bagus tersebut akan disimpulkan dapat merusak akidah dan aturan syariat islam yang sedang berlaku di Aceh. Harapan kita tentunya para pemangku kebijakan di Aceh dapat lebih jeli dalam melihat persoalan izin kehadiran kembali bioskop di Aceh.

Anak muda di Aceh sudah banyak membuat film-film dokumentar dengan segudang prestasi memenangkan lomba di tingkat nasional, ruang kerja kerja apresiasi mereka terhambat karena untuk promosi film karya pemuda Aceh tidak dapat dilakukan di Aceh dalam kapasitas utnuk menikmati sebuah film yang benar benar bermutu. Kalaupun mereka membuat tontonan bareng dengan memakai layar infokus, tentunya dengan segala kekuaran dalam hal tayangan gambar, suara dan lain-lain.

Hadirnya bioskop di Banda Aceh dapat menjadi ruang apresiasi bagi komunitas seni film yang selama ini melakukan kampanye kesadaran alam bawah sadar manusia melalui film. Sineas-sineas muda dari Komunitas Lam On Film misalnya yang selama ini kerap melakukan kerja kerja film dokumentar. Mereka akhirnya cuma bisa putar film dalam kapasitas penonton yang minim diruang kuliah atau warung warung kopi. Dengan kondisi fasilitas yang kurang memadai untuk memutar sebuah film dan dapat dinikmati dengan baik baik suara, gambar, dan ruangan.

Harapan kita ke depan, di Aceh akan ada Festival Film Aceh yang bisa menjadi sebuah daya darik bagi turis mancanegara ketika berkunjung ke Aceh, sebagaimana untuk menambah jumlah produksi pariwisata dalam mensukseskan Visit Aceh 2013. Festival Film Aceh ini akan diisi oleh produksi-produksi filmmaker di Aceh. Bukankan film merupakan saksi sejarah dan kehidupan sebuah peradaban masyarakat disuatu tempat? Kalau kita sepakat, kenapa ini tidak kita mulai tunjukkan kepada dunia, bahwa di Aceh pernah ada sebuah peradaban ummat islam yang beradab dalam menjalankan kehidupannya dan itu digambarkan melalui film. Maka bioskop adalah tempat awal mula kita mulai proses memkampanyekan kepada orang luar bahwa; Inilah Aceh, Nanggroe Syariat Islam!

[sumber: Tabloid ATJEH TIME-Edisi Maret 2013]

27 December 2013

12/27/2013 09:02:00 PM

Saatnya Blogger NU Menulis



DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata muktamar dijelaskan sebagai berikut:   muk.ta.mar [n] konferensi; kongres; rapat; perundingan; pertemuan. Sederhananya orang mengetahui muktamar diartikan sebagai tempat pertemuan besar, musyawarah besar pada sebuah organisasi tertentu dalam menjalankan dan atau menyusun konsep ideologi sebuah organisasi tertentu untuk menjalankan/mengevaluasi visi dan misinya.

11 December 2013

12/11/2013 11:19:00 PM

Relawan Muda: Berbagi Buku Berbagi Ilmu

One Man One Book, satu orang satu buku. Ide ini muncul pada bulan Agustus 2011. Ketika itu, seorang Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Husnul Khatimah Adnan memposting berita tentang sebuah Taman Bacaan Masyarakat (TPM) Tanyo di desa Lambirah-Sibreh Kabupaten Aceh Besar yang baru saja dia dirikan. Dia mengajak anak-anak di desanya untuk tidak melulu lalai dengan dunia mainan sewa rental play station (PS) yang sangat mengkhawatirkan. Husnul mendirikan TPM Tanyo bersama kawan kawan sebayanya di desa. Husnul seorang mahasiswa kreatif menurut saya, punya ide membikin sebuah tempat pendidikan mandiri bagi kreativitas anak-anak di desanya. Anak-anak desa Lambirah harus bisa belajar banyak tentang dunia, dengan membaca buku, tidak boleh candu dengan mainan rental PS yang cukup menguras uang jajan.

02 December 2013

12/02/2013 04:07:00 AM

Malam Minggu Calon Penyair

sumber: [Harian Serambi Indonesia Minggu 1 Desember 2013]

Foto: Mardhatillah
MALAM Minggu (9/11) lalu, selepas Isya, sekitar 70-an anak-anak muda di Banda Aceh menjalankan satu kegiatan yang agaknya lumayan asing bagi dunia malam minggu mereka selama ini. Mereka mendirikan sebuah panggung kecil setinggi 30 sentimeter, menempatkan dua kursi putar tak bersandar, ditambah pengeras suara seadanya.

Acara itu berlangsung di sebuah café di kawasan Lampriet, sepelemparan batu dari Kantor Gubernur Aceh, tempat di mana biasanya Komunitas Stand Up Comedy Banda Aceh kerap mengasah bakat melawak mereka. Acara yang digagas oleh sejumlah komunitas kreatif tersebut (Akar Imaji, Forum Sastra Kedai Kopi, Klub Diskusi Kutubuku) mengusung tema: FREEDOM! Malam Puisi Aceh.
Acara malam itu menarik, ketika ada upaya menyeret puisi keluar dari sangkar besi kaum sastrawan. Malam itu yang membaca puisi dapat dikatakan bukan dari kalangan penyair, setidaknya mereka yang selama ini bertahun-tahun berasyik-masyuk dengan puisi dan dunianya yang misterius. 

Tampak dari mereka yang membaca puisi malam itu berusaha melawan perasaan gentar yang terbangun--dan punya daya rusak seperti takhayul--selama ini bahwa, “Ruang baca puisi hanya untuk mereka yang disebut penyair atau paling banter para pembaca puisi yang telah malang melintang di panggung-panggung pembacaan puisi.” Pada Malam Puisi Aceh, umumnya yang membaca puisi adalah wajah-wajah baru, kecuali Akmal van Roem, juara tiga Lomba Baca Puisi Youtube yang ditaja Helvi Tiana Rossa.

Saya sendiri membaca dua puisi karya WS. Rendra, Surat Cinta dan Pesan Pencopet Kepada Pacarnya, diiringi gesekan biola nan syahdu oleh Fuadi Keulayu, seorang tukang hikayat modern Aceh. Pembacaan puisi malam itu berlangsung seperti tadarus, sambung menyambung. Dan para pembaca umumnya memilih puisi-puisi bertema cinta, diselingi puisi kritik sosial karya KH. Mustafa Bisri, seperti  Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana?

Walau agak malu-malu, ada juga yang membaca puisi karya sendiri. Mereka tampil dengan ekpresi dan gaya mereka masing-masing. Terlihat tanpa beban. Dan mereka tidak perlu repot harus mematuhi arahan instruktur atau pelatih sebagaimana yang umumnya terjadi dalam lomba-lomba baca puisi. Seorang remaja nekat membacakan sepotong puisi cinta dan ditujukan kepada seorang gadis pelayan di cafe tersebut.

Mifta Sugesty, seorang mahasiswa psikologi Universitas Syiah Kuala, membaca puisi hasil ciptaannya sendiri: Untuk Apa Kita Kumpul di Sini? Mifta mempertanyakan kepada pengunjung kenapa berada di sini malam itu. Perhatikan penggalan bait puisinya: Untuk apa kita berkumpul di sini?/ untuk membunuh waktu?/ atau menghidupkan jeda?/ untuk apa kita berkumpul disini?/ Sekadar berebut kursi atau sekadar mencuri dengar puisi?/  untuk apa kita berkumpul di sini?/ karena waktu sudah lewat/ lampu masjid sudah dimatikan/ dan kita mendapati diri terseda pengap kota?/ atau kita berkumpul di sini untuk mencari Tuhan?

Jika selama ini puisi adalah milik kaum yang menyatakan dirinya penyair, maka Malam Puisi Aceh dapatlah dikatakan sebagai upaya mengenalkan dunia sastra di Banda Aceh kepada khayalak yang lebih luas, langsung di mana publik menghabiskan waktu senggang mereka.

Kesan bahwa puisi itu agung dan hanya dapat dinikmati oleh sebagian orang  yang sangat paham dengan sastra coba dipertanyakan ulang dalam Malam Puisi Aceh. Memang masih ada keterbatasan sebagaimana kecanggungan yang terlihat jelas. Tapi para pegiat komunitas ini telah membawa pembacaan puisi ke tempat nongkrong yang penuh remaja berdarah panas dan anak gaul kota. Setidaknya puisi-puisi dapat menyejukkan hati mereka, jika bukan membuat mereka tambah membara. Ini setidaknya membuktikan bahwa acara pembacaan puisi bukanlah badut dalam kehidupan masyarakat.

Pembacaan puisi sudah selayaknya keluar dari aturan dan arahan tertentu, kecuali aturan itu merupaka standar perlombaan. Setiap orang bebas tampil di panggung, membawa sebuah puisi, membaca sesuka hatinya sesuai irama yang disukainya. Seperti seseorang bernyanyi di kamar mandi. Suatu saat, misalnya, kita tidak perlu kaget apabila menemukan seorang di kedai kopi, tiba-tiba naik ke atas bangku dan membaca beberapa puisi. Tentu bila seseorang itu punya mental sekeras baja. 

Kita berharap, pembacaan puisi memang harusnya akrab dengan dunia kaum muda. Puisi cenderung dapat mengungkapkan perasaan mereka tentang apa saja, tentang cinta, tentang alam, lingkungan,  kebaikan atau kejahatan pemerintah. Dan apa yang perlu ditekankan, acara Malam Puisi Aceh itu telah menolong para penyair dengan membuat puisi bukan lagi sebagai makhluk asing. Selamat bergabung dalam dunia sastra para calon penyair muda.  (*)

* Muhadzdzier M. Salda, tinggal di Lamgapang. Jamaah Forum Sastra Kedai Kopi