KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

09 September 2007

9/09/2007 06:17:00 AM

Museum Rp 70 Miliar

Awal tahun 2008 nanti, BRR NAD-Nias, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh didukung berbagai lembaga donor berencana membangun museum tsunami yang dinamai “Nanggroe Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM”. Bagaimana rancang-bangunnya akan dilakukan lewat sayembara. Katanya konstruksi meseum itu mirip rumoh Aceh as escape hill (baca Serambi Indonesia, 19/08/2007).




[ sudut pandang museum tsunami aceh | capture google by @azirmaop ]

Entah seperti apakah design itu. Yang tahu pasti hanyalah si perancang yang berasal dari luar Aceh itu. Tentu menjadi kebanggaan sendiri baginya, karena bisa mendapatkan hadiah uang tunai 100 juta rupiah. Sejumlah uang yang lumayan besar, tapi teramat kecil dibanding anggaran Rp 70 milyar untuk keseluruhan rencana pembangunan museum tersebut. Sebagai orang yang masih sehat akal pikiran, tentu saya akan bertanya apa lagi “kegilaan” yang sedang merasuki BRR kali ini.

Tsunami pada hari kelabu, Minggu 26 Desember 2004 tak pelak merupakan sejarah pilu rakyat Aceh. Lebih 200 ribu jiwa orang Aceh meninggal. Tragedi itu telah mengganggu detak jantung manusia seluruh dunia. Bala bantuan pun datang baik dari pelayat yang berkunjung langsung, maupun yang hanya menitipkan pada lembaga yang mereka percaya. Dan kita tentu yakin tak seorangpun yang menyumbang dana itu meniatkan sedekahnya untuk diwujudkan sebagai museum.

Ini bukan masalah jumlah uang untuk membeli kerupuk jengek. Kalau pembaca setuju dengan saya, ini hanyalah sebuah hajatan menghamburkan uang sangat besar yang sedang akan dikerjakan oleh BRR. “Sedang akan” maksudnya, karena memang persiapan untuk mengerjakannya sudah sangat serius dan terkoordinasi diatur oleh BRR dan `kawan-kawannya‘. Rp 70 milyar tentu bukan angka yang kecil buat siapa pun, buat kita yang tidak pernah lihat uang maupun buat mereka yang bergelimang uang.

Masyarakat sebagai generasi sisa tsunami, tentu harus mengenang kisah sedih itu. Hanya saja, pertanyaannya, haruskah membangun sebuah gedung hanya untuk mengenang tsunami yang menelan dana Rp 70 milyar? Kalau memang harus ada, mau diapakan museum Aceh yang sudah ada? Apakah akan dihancurkan yang kemudian dibangun lagi dengan dalih pemugaran?

Kita memang tak bisa membendung agar proyek itu tak dibangun, karena saya masih menyimpan ingatan betapa dahsyatnya gelombang itu menggulung Aceh. Namun ini masalah kegetiran dan kegelisahan saya sebagai salah seorang sisa anak tragedi menjadi miris ketika uang para pelayat yang simpati dihambur-hamburkan dengan dalih untuk mengenang. Saya yakin para korban yang duluan dipanggil ke hadirat-Nya akan sedih ketika mereka dieksploitasi dengan cara-cara yang sia-sia.

Memang para korban itu tak mesti diajak rembuk, apakah perlu meseum untuk mengenang mereka. Apalagi kalau meseum itu harus menelan dana 70 miliar yang mereka pastikan bukanlah keinginan orang-orang Aceh yang masih tersisa. Sebab rencana pembangunan Museum ini hanyalah ide-ide “kreatif” dari luar. Karena ini akan menjadi proyek untuk bisa menikmati dana takziah korban tsunami. Apakahitu konsultan, perancang gambar, kontraktor dan tetek-bengek pekerjaan lain yang akan terlibat di dalamnya. Sudah pasti hak “pawang” para elit BRR pun akan ada.

Saya sebenarnya tak berani nyeleneh, hanya mengingatkan sebegitu banyak “kegilaan” yang sudah dipertontonkan BRR selama ini, apakah tidak pernah belajar untuk berubah dan memperbaiki keadaan itu. Inilah yang kemudian menggiring suasana perih hatinya, dan berharap masih sadar untuk tidak ikut-ikutan gila. Bagaimana tidak gila, untuk menggelar rapat bisik-bisik museum itu, kabarnya mereka “harus rela” tidur di hotel-hotel megah di Bandung. Ingat, hanya untuk menggelar rapat. Bisa pula dibayangkan berapa dana yang harus dihabiskan lagi untuk mempromosi kepada khalayak luar. Jika itu berhasil maka harus berangkat ke luar negeri untuk mengucapkan terima kasih.
Saya juga sebagian masyarakat awam sudah tahu, proyek ini bakal dibangun. Seperti disebut, awal tahun 2008 sudah dimulai. Hanya saja, siapa yang berani menafikan kalau pada saat itu tak ada lagi korban tsunami yang mondok di barak-barak? Mestinya BRR lebih memprioritas agar korban yang tersisa itu memiliki rumah. Namun mungkin karena elit BRR memang sudah tak peka lagi, atau mungkin sudah putus “urat malunya”, sehingga betapa pun banyak hujatan yang dialamatkan ke lembaga super body itu tidak akan juga terasa.

Saya menjadi teringat “petuah” dari seorang teman yang kini telah bekerja dan menjadi bagian dari BRR. Kasihan mereka awak BRR, mereka telah begitu banyak bekerja untuk rakyat korban lumpur hitam di pagi Minggu itu. Bayangkan saja, mereka tidak punya lagi waktu berkumpul bersama istri dan anak-anaknya. Untuk makan saja kadang mereka harus `rela‘ makan direstoran mewah. Sedih sekali mengingat mereka tak sempat mencicipi asam kareng di rumahnya. Sekarang mereka harus rela pergi ke luar negeri hanya untuk mengatakan rasa terima kasih kepada orang-orang luar negeri yang telah memberi mereka makan. Kadang awak BRR harus rela tidur di hotel-hotel megah di Jakarta, saat mereka melaporkan hasil rehabilitasi dan rekontruksi Aceh dihadapan Presiden atau wakil rakyat di Senayan.

Ah sudahlah, karena sudah teramat banyak kekacauan pikiran yang harus ditanggung atas kenyataan yang dialami rakyat Aceh. Karena akibat “kegilaan” yang terys dipertontonkan. Saya mencoba menenangkan kemurungan ini untuk tidak membaca berita “kegilaan” itu sendiri. Apalagi sebagai mahasiswa yang tidak berminat nyambi di NGO, terus saja dihimpit mulai biaya kuliah SPP yang makin “gila” biaya hidup di Banda yang juga “gila” dan tempat mondok dengan sewa “menggila” juga kelakuan mahasiswa berdemi yang gila-gilaan.[Harian Serambi Indonesia, 9 September 2007]
*)Penulis adalah mahasiswa Unsyiah dan peserta Sekolah Menulis Dokarim 2007-2008